Laman

Rabu, 17 November 2010

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

TINJAUAN UMUM TENTANG SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Oleh : Sahabudin

A. Pengertian Sosiologi Pendidikan

1.      Sosiologi

    1. Pengertian Sosiologi

Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, yaitu sosiologi dan pendidikan. Secara etimologis, istilah sosiologi terdiri dari socius (dari bahasa Latin, artinya teman) dan logos (dari bahasa Yunani, artinya kata, sabda, ilmu)[1]. Tetapi merumuskan secara jelas pengertian sosiologi bukanlah pekerjaan yang mudah. Soalnya, ilmu ini mempunyai berbagai aliran atau segi pandangan. Misalnya ada Verstehende Soziologie yang bertujuan untuk mengerti realitas sosial; ada Sosiologi Positivistis yang mengkaji hubungan kausal menurut contoh dan metode ilmu alam; ada Fungsionalisme yang memandang masyarakat sebagai kesatuan lembaga-lembaganya merupakan bagian-bagian yang saling bergantung; ada Sosiologi Konflik yang memandang masyarakat pada dasarnya terbagi dalam kelompok-kelompok kepentingan; ada Sosiologi Kritis yang mengutamakan nilai-nilai sosial-budaya dalam mengkritik masyarakat lama dan membangun masyarakat baru yang lebih manusiawi; dan lain sebagainya[2].
Dari penjelasan di atas, maka tidak mengherankan bila istilah sosiologi bisa digunakan dengan pengertian yang berbeda. Di antara pengertian sosiologi yang dikemukan oleh para ahli, yaitu:
  1. Marx Weber memandang sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal[3].
  2.  William F. Ogburn and Meyer F. Nimkoff mengartikan sosialogi sebagai penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi
      sosial[4].
  1. Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
    1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka ragam gejala-gejala sosial (misal: antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; dan gerakan masyarakat dengan politik)
    2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misal: gejala geografis dan biologis)[5].
Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh para ahli dapatlah disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau cabang ilmu sosial yang mempelajari secara sistematik kehidupan bersama manusia yang ditinjau dan diamati dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya terkandung studi tentang kelompok-kelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial, sebab-sebab sosial, dan segala fenomena sosial yang mempengaruhi perilaku manusia.[6] Sementara itu, objek kajian dari sosiologi adalah tingkah laku manusia dalam kelompok atau masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.

b. Sosiolog Barat

Setiap ilmu pengetahuan mempunyai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap sebagai pencetus atau perintis. Ilmi pengetahuan alam mempunyai Sir Izaac Newton; psikologi mempunyai Freud. Sosiologi pun mengenal sejumlah orang yang dianggap sebagai perintisnya. Biasanya sosiolog membedakan para perintis awal abad ke 18 dan 19, dengan para tokoh sosiolog abad ke-20.

            Orang-orang yang oleh Lewis Coser dianggap sebagai pemuka pemikiran sosiologi (Masters of sociological though) adalah Saint Simon, Auguste Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, Sorokin, Mead, dan Cooley.[7] Berikut ini penulis kemukakan sepintas tiga tokoh Sosiolog Barat.
a.  Agustus Comte (1798-1857)
Dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah paternity, yaitu pengakuan bahwa seorang tokoh adalah pendiri suatu bidang ilmu dengan nama “Bapak” bagi bidang ilmu yang bersangkutan. Dalam sosiologi, tokoh yang dianggap Bapak adalah Auguste Comte, seorang ahli filsafat dari Perancis.[8] Namun mengenai hal ini para ahli tidak sepenuhnya sepakat; Reiss, misalnya berpendapat bahwa Comte lebih dianggap sebagai Godfather (wali) dari pada Progenitor (leluhur) sosiologi, karena sumbangan Comte terbatas pada pemberian nama pada suatu filsafat yang membantu perkembangan sosiologi. Menurut Reiss, tokoh yang lebih tepat dianggap sebagai penyumbang utama bagi keumculan sosiologi adalah Emile Durkheim[9].
Pemikiran sosiologi yang diutarakan Comte banyak terdapat dalam bukunya “Course de Philosophie Positive”. Dalam buku ini Comte mengutarakan pandangannya mengenai “hukum kemajuan manusia”. Menurutnya, sejarah manusia akan melewati tiga jenjang yang mendaki, yaitu jenjang teologi, jenjang metafisika, dan jenjang positif. Pada jenjang pertama, manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua, manusia mengacu pada kekuatan-kekuatan metafisik dan abstrak; dan pada jenjang ketiga, penjelasan alam maupun sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah (didasarkan atas hukum-hukum ilmiah).[10]
Sumbangan pemikiran Comte yang lain dalam bidang sosiologi adalah bahwa ia menyebut sosiologi sebagai “Ratu ilmu-ilmu sosial”[11]. Ia membagi sosiologi ke dalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamic).  Statika  mewakili stabilitas, sedangkan dinamika mewakili perubahan.
b.  Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Tahun 1814 ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas Berlin dengan disertasi yang berjudul On the Differences between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus.[12] Marx dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori mengenai sosialisme yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Marxisme dari pada seorang perintis sosiologi. Namun demikian sebenarnya Marx merupakan pula seorang tokoh teori sosiologi. Levebvre mengemukakan, meskipun Marx bukan ahli sosiologi, namun tulisannya mengandung sosiologi.[13]
Sumbangan Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas. Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas berbeda, yaitu kelas yang terdiri dari orang-orang yang mengusai alat produksi, yang kemudian dinamakan kaum borjuis, yang mengeksploitasi kelas yang terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki alat produksi, yang dikenal dengan kaum proletar. Menurut Marx pada suatu saat kaum proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak, dan dalam konflik yang kemudian berlansung –yang oleh Marx dinamakan perjuangan kelas – kaum borjuis akan dikalahkan. Marx meramalkan bahwa kaum proletar kemudian akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
Meskipun ramalan Marx tidak pernah terwujud, namun pemikiran Marx mengenai stratafikasi sosial dan konflik sosial[14] tetap berpengaruh terhadap pemikiran sejumlah besar ahli sosiologi.
c.  Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif. Karya-karya utamanya antara lain: The Division of Labor in Socity (1968), karya pertamanya yang berbentuk disertasi doktor; Rules of Sociological Method (1968); Suicide (1968); Moral Education (1973), dan The elementary Forms of the Religious life (1966).
Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan  antara dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solodaritas organis. Solodaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan.[15] Menurut Durkheim solidaritas mekanis dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, yang dinamakan “segmental” pada masyarakat ini tidak ada sistem pembagian kerja. Pada masyarakat ini apa yang dilakukan seseorang dapat pula dikerjakan oleh orang lain, sehingga tidak ada sikap saling ketergantungan dengan orang lain. Tipe solidaritas sosial yang didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini diikat oleh sesuatu yang oleh Durkheim dinamanakan conscience collective (hati nurani kolektif), yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.[16]
Pada buku The Division of Labor in Socity, Durkheim menekankan pada arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena menurutnya pembagian kerja berfungsi untuk meningkatkan solidaritas[17]. Pembagian kerja yang berkembang pada masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak mengakibatkan disintegrasi masyarakat yang bersangkutan, tetapi justru meningkatkan solidaritas karena bagian-bagian masyarakat menjadi saling bergantung.
Pada buku Rules of Sociological Method, Durkheim menawarkan definisi mengenai sosiologi. Menurutnya, bidang yang harus dipelajari sosiologi adalah fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berfikir, dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut.[18] Di antara contoh-contoh yang dikemukan Durkheim mengenai fakta sosial adalah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian, dan kaidah ekonomi. Fakta-fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim yang menjadi pokok perhatian sosiologi.
Kalau Comte membagi sosiologi menjadi statika sosial dan dinamika sosial, maka Durkheim memperkenalkan pembagian berdasarkan pokok bahasannya, yaitu sosiologi umum, sosiologi agama, sosiologi hukum, sosiologi kejahatan, sosiologi konflik, sosiologi ekonomi, morfologi, sosial, dan sejumlah pokok bahasan yang mencakup sosiologi estetika, teknologi, bahasa, dan perang.[19]
    1. Sosiolog Muslim
Sosiologi dapat didefinisikan secara luas sebagai bidang  penelitian yang bertujuan meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan atas manusia, kebiasaan-kebiasaannya, ritual-ritual, pola-pola organisasi, hukum-hukumnya, politik dan ekonominya, maka peradaban muslim berarti telah menghasilkan data historis, etnografis, dan filosofis yang kaya ragam sosiologisnya dan yang sangat canggih segi-segi metodologisnya.
Bagi kaum muslim abad pertengahan, ada tiga sumber pokok yang dapat dijadikan landasan dalam pembahasan mengenai sosiologi yang saat ini semakin berkembang. Pertama adalah Al-Qur’an. Dalam sumber pokok umat Islam tersebut terdapat ayat-ayat yang membicarakan sejarah umat manusia dengan suatu analistis sistematis atas suatu tema, yaitu pola-pola konflik yang berkaitan dengan wahyu Ilahi dan para Rasul-Nya.Kedua adalah  peradaban muslim, yang mewarisi filsafat-filsafat Yunani kuno, dengan metode deduksi, induksi dan wawasannya tentang organisasi manusia. Ketiga adalah terbukanya kesempatan-kesempatan bagi para petualang dan orang-orang yang tertarik untuk menjelajah dan mengamati keanekaragaman pola kehidupan kelompok-kelompok muslim dan kelompok-kelompok yang hidup di sekitar mereka.
Dari pemamaparan singkat di atas, nampaknya pembahasan sosiologi bukanlah sesuatu yang asing bagi umat Islam, dan memang dalam sejarah perkembangan pemikiran umat Islam terdapat orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap aspek-aspek sosiologis dalam suatu ilmu. Sa’id, al-Bairuni dan Ibn Bathtuthah misalnya telah menghasilkan data etnografis yang kaya, bukan hanya tentang komunitas muslim, melainkan juga tentang komunitas-komunitas non muslim di Afrika, India, dan Cina. Para ahli etnografi ini sering mengemukakan teori-teori jelajah tengah (middle range theories) mereka tentang stratafikasi, peranan seks, hubungan ras, perbudakan, dan peranan rasionalisasi dalam perkembangan manusia.[20] Dalam “sosiologi hukum” dikenal nama-nama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan sejumlah ulama lain dari mazhab Syi’ah. Dengan menelaah secara mendalam Al-Qur’an dan hadis, ulama-ulama ini mampu menetapkan aturan-aturan yurisprudensi Islam dan mengajukan suatu kumpulan hukum yang dapat diterapkan  pada situasi riil dan yang diduga bakal timbul pada zaman mereka. Dengan melakukan perbuatan mulia ini, para ulama bukan hanya melindungi umat dari kekacauan religius yang parah, tapi juga mewariskan suatu tradisi yang di dalamnya hukum Islam dapat dirumuskan kembali dan dimodifikasi. Dengan demikian memungkinkan umat untuk menempatkan diri dalam situasi yang dinamis.
Jadi jelaslah bahwa dalam tradisi keilmuan Islam mengenal pula aspek sosiologi dalam suatu ilmu yang dikembangkan. Oleh karena itu, untuk mendukung pernyataan di atas, berikut ini penulis kemukakan tiga orang sosiolog muslim.
a. Ibn Khaldun
Abu Zaid Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun  Waliyuddin al-Tunisi al-Hadrami al-Isybili al-Maliki, dikenal sebagai sejarahwan dan sosiolog muslim yang banyak mengemukakan gagasannya tentang manusia. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 M di Tunisia, dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406[21]. Ibn Khaldun dikenal pula sebagai bapak ilmu-ilmu sosial[22].
Menurut Ibn Khaldun Masyarakat berbudaya di mana saja dalam menuju kemajuannya harus melalui tiga fase secara berurutan, yaitu:
1.      Fase primitif, yaitu fase yang bercirikan kekerasan, keberanian, dan fanatik. Pada fase ini masyarakat dikendalikan oleh adat istiadat dan kebutuhannya serta tidak dikendalikan oleh hukum.
2.      Fase perubahan masyarakat dari primitif ke masyarakat maju berbudaya. Pada fase ini muncul sebuah negara yang memiliki penguasa yang mengatur urusan-urusan masyarakat, dan penduduknya mulai tunduk dan patuh kepada hukum dan undang-undang.
3.      Fase timbulnya negara. Pada fase ini para penduduk saling bekerja sama dalam memelihara dan mempertahankan negara dari bahaya, baik yang timbul dari dalam maupun dari luar demi kestabilan dan keamanan. Pada fase ini pula kefanatikan terhadap golongan akan hilang[23]
Menurut Ibn Khaldun, manusia itu lemah, pada mulanya bebal dan pada dasarnya egois (self centred). Di segi lain, menurutnya, Allah memberi manusia kekuatan untuk melakukan penalaran dan pemikiran yang abstrak. Bertolak dari premis ini, ia menjelaskan masyarakat dari sudut keharusan, bukan dari sudut kealamiahan atau keotomatisan. Ibn Khaldun melihat masyarakat sebagai suatu alat manusia yang sengaja diciptakan guna mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk mempertahankan hidup. Pemikiran Ibn Khaldun mengenai sosiologi dapat ditemukan dalam karya monumentalnya yang berjudul “Al-Muqaddimah
b. Basyarat Ali
Ali pernah memperoleh pendidikan di Jerman, dan pernah menjadi murid Karl Mannheim, dari tokoh inilah Ali memperoleh pemahaman mengenai sosiologi pengetahuan. Ali mempelajari dan menerjemahkan karya-karya filosof  seprti Ibn Khaldun, al-Farabi, al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan lain-lain. Dengan memperalat sosiologi pengetahuan, dia menolak watak sekular dan aneka ragam dari sosiologi Barat umumnya, dan sosiologi Amerika khususnya.[24]
Sosiologi Ali dapat dianggap sebagai jawaban atas dua pertanyaan yang amat sederhana namun penting: siapakah manusia itu, dan bagaimanakah sifat masyarakat? Penyelidikannya menuntunnya untuk menengok kepada Al-Qur’an dan kehidupan Nabi SAW. Menurutnya masyarakat bakal membenarkan bahkan mendorong konflik manusia, bukan meredamnya. Manurut Ali, tugas sosiologi meliputi: hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi perumusan masyarakat yang secara idealistis utuh guna menampilkan totalitas kehidupan manusia. Sosiologi ini, karena wawasannya, harus memasukkan keseluruhan aspek kehidupan fisik dan dan spiritual ke dalam satu kesatuan.[25] Karya Ali yang banyak memuat gagasannya tentang sosiologi adalah Qur’anic Sociology (1968) dan German Sociology (1968). Ali membantu memperkenalkan sosiologi Islam pada tingkat sarjana di Universitas  Karachi, Pakaistan. Menurut persepektif Ali, masyarakat Pakistan diselimuti oleh konflik, dan memang setiap negara yang terdiri dari berbagai suku, watak dan kebudayaan yang berbeda, konflik sosial sudah pasti tidak dapat dihindari, tetapi sebagai masyarakat yang berbudaya, konflik sosial tersebut sedapat mungkin diminimalisir.
c. Ali Syari’ati (1937-1977)
Ali Syari’ati adalah seorang pemikir dan pembaharu Iran yang memperoleh pendidikan di Perancis. Syari’ati bukanlah seorang peneliti lapangan. Ia sebenarnya adalah sebuah unsur dan faktor dalam semangat revolusioner yang akhirnya menumbangkan pemerintahan Syah Iran beserta tentaranya yang kejam.
Syari’ati melihat dengan sangat jelas dua aspek sosiologi, yaitu aspek murni dan aspek terapan, sebagai sebuah disiplin ilmiah. Tugas sosiologi murni, baginya adalah “mengenal dan mengartikan Islam sebagai sebuah mazhab pemikiran”[26] Untuk tujuan ini, ia memberikan beberapa sumbangan berharga dalam mensosiologikan konsep-konsep seperti tauhid, syirk dan al-nās. Dalam pandangan sosiologinya ia mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar dan teoritis: Apa faktor pokok yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba berubah dan berkembang atau mendadak rusak dan runtuh?. Menurutnya, bila seseorang ingin menanam pohon agar berbuah, pertama sekali ia harus mengetahui prinsip-prinsip ilmu tanam-tanaman. Lalu ia harus menerapkan prinsip-prinsip ini, sehingga pohon tersebut akan memberikan buah yang terbaik. Demikian pula, menurut Syari’ati, jika seseorang ingin membangun suatu tata sosial yang ideal, ia pertama kali harus mengetahui prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang ideal, lalu ia harus menerapkan prinsip-prinsip ini untuk menciptakan situasi-situasi yang menguntungkan bagi terwujudnya tata sosial yang ideal itu. Dalam kedua contoh yang dikemukananya terdapat dua faktor penentu, yaitu hukum dan manusia.  Menurutnya hukum-hukum tata sosial Islam yang ideal terdapat di sepanjang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. SAW. Satu-satunya unsur yang diperlukan menurut Syari’ati adalah manusia yang sepenuhnya mau menerapkan aturan-aturan ini, guna mendorong masyarakat ke arah ini, yaitu tata sosial ideal. Pemikiran Syari’ati dalam bidang sosiologi, banyak terdapat dalam buku On The Sociology of Islam (Berkeley, 1979); Man and Islam (Iran: University of Mashhad Press, 1982), Muhammad Saw Khātim Al-Nabiyyîn: Min Al-Hijrah Hatta al-Wafat (Teheran: Dar al-Huda li al-Nasyr wa Al-Tawzi, 1989); Al-Insān, al-Islām wa Madāris Al-Garb (Teheran: Dār Al-Shahf li Al-Nasyr, 1989); Hajj (Free Islamic Literatures Incoperated, Bedford, Ohio, 1978).

2.      Pengertian  Pendidikan

Istilah pendidikan digunakan untuk menterjemakan kata education dalam bahasa Inggris. Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan lebih banyak dikenal dengan term al-tarbiyah, al-ta’lîm, al-ta’dîb, dan al-riyādah. Setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, namun dalam beberapa hal, term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.
Dalam leksiologi al-Qur’an tidak ditemukan kata al-tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan istilah al-tarbiyah yaitu: al-rabb[27], rabayānî[28], murabbi, ribbiyun, dan rabbani[29]. Semua fonem tersebut mempunyai konteks makna yang berbeda-beda
Sementara itu, secara terminologi al-tarbiyah­ diartikan oleh  Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagai upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berpikir tajam, berperasaan, giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan dan terampil berkreativitas.[30] Sedangkan Al-Ashfahani mendefiniskan al-tarbiyah dengan proses menumbuhkan sesuatu secara bertahap yang dilakukan setapak demi setapak sampai pada batas kesempurnaan[31].
Pendidikan sering juga diidentikan dengan term al-ta’lim. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi memberikan pengertian al-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan al-tarbiyah, karena al-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan al-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan[32]. Sedangkan Muhammad Rasyid Rida memberikan definisi al-ta’lim dengan proses trasmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu[33].
Dalam kesempatan lain, pendidikan diidentikan pula dengan term al-ta’dib. Menurut al-Nuquib term al-ta’dib merupakan term yang cocok untuk dipergunakan sebagai istilah dalam pendidikan Islam. Hal ini karena konsep inilah yang sebenarnya diajarkan oleh Nabi SAW. pada umatnya pada waktu terdahulu.
Adapun pengertian al-ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan Kekuasaan dan Keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan  keberadaannya[34].
Sedangkan term al-Riyādah hanya khusus dipakai oleh Imam al-Ghazali, dengan istilahnya “Riyādatu al-şibyān” artinya pelatihan terhadap individu pada fase anak-anak[35]. Menurut Imam al-Ghazali, mendidik anak, lebih menekankan aspek afektif dan psikomotoriknya dibandingkan dengan aspek kognitifnya. Karena jika anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang postif, masa remajanya atau dewasanya lebih mudah untuk berkepribadian saleh, dan secara otomatis, pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya. Namun sebaliknya, jika dari kecil terbiasa berbuat naïf, di hari tuanya, anak tersebut sulit membiasakan aktivitas baik walaupun tingkat keilmuannya sudah memadai. Berdasarkan hal tersebut al-Ghazali memakai istilah al-Riyādah[36] sebagai istilah alternatif dalam pendidikan Islam.
Terlepas dari perbedaan istilah pendidikan yang diidentikan dengan term bahasa Arab yang tepat sebagaimana yang telah dikemukan di atas, para ahli berbeda pula dalam mendefinisikan pendidikan. Azyumardi Azra menganggap pendidikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien[37].
Dari beberapa pengertian tentang sosiologi dan pendidikan yang telah dikemukan di atas, dapatlah diketahui bahwa dalam sosiologi pendidikan yang menjadi masalah sentralnya adalah aspek-aspek sosiologi dalam pendidikan. Sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh pendidikan yang sangat fundamental.
E. George Payne, yang dikenal sebagai bapak sosiologi pendidikan memberikan definisi sosiologi pendidikan sebagai berikut: “Educational sociology we mean the science which describes and explains the institutions, social groups, and social processes, that is the social relatiomships in which or through which the individual gains and organizes experiences[38] Payne cenderung menekankan bahwa di dalam lembaga-lembaga, kelompok sosial, dan proses sosial, terdapat apa yang dinamakan hubungan-hubungan sosial yang dikenal dengan sebutan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisir semua pengalamannya. Inilah yang merupakan prinsip-prinsip sosiologis.
Interaksi sosial yang membentuk tingkah laku manusia itu, sering dianggap sebagai sistem pendidikan yang berkembang terus. Artinya sering kali didapati kondisi dan situasi baru, haruslah ada interaksi sosial yang baru dan seolah-olah individu-individu itu belajar berinteraksi sosial. Inilah yang merupakan prinsip pedagoginya.
W. Dodson menegaskan bahwa Education Sociology is interested in the impact of the total cultural milieu in which and through which experiences in the acquired and organized. It is interested in the school but recognizes it a small part of the total. Education Sociology is particulary interested in finding out how to manipulate the educational process ( social control) to echieve better personality development.[39] Dodson memandang sosiologi pendidikan itu mempersoalkan pertempuran dan percampuran dari lingkungan sekitar kebudayaan secara totalitas,  dengan begitu maka terbentuklah tinggkah laku, dan sekolah dianggap sebagian dari total culture milieu, sedangkan sosiologi pendidikan memperbincangkan dan berusaha menemukan bagaimana memanipulasi proses pendidikan untuk mengambangkan kepribadian[40].
Dari  rumusan sosiologi pendidikan yang dikemukan di atas, dapatlah ditarik keseimpulan bahwa sosiologi pendidikan adalah  Sosiologi yang membahas dan diterapkan dalam memecahkan segala problematika yang ada dalam pendidikan, terutama dalam interaksi sosial antara peserta didik dengan lingkungan, guru, dan sesamanya, begitu juga dalam melihat gejala-gejala sosial yang berkembang dalam sistem pendidikan, sehingga aspek-aspek sosiologi yang ada dapat dijadikan pijakan dalam merumuskan segala suatu yang berhubungan dengan pendidikan, guna tercapainya kemajuan dalam bidang pendidikan.

B. Pokok Bahasan Sosiologi Pendidikan

Pendidikan merupakan institusi yang mendapat perhatian serius dari para hali sosiologi. Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan adalah institusi pendidikan formal, dan institusi pendidikan formal terpenting dalam masyarakat adalah sekolah yang menawarkan pendidikan formal mulai jenjang prasekolah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, baik yang bersifat umum maupun khusus. Di samping pendidikan formal yang menjadi pokok bahasan utama sosiologi pendidikan, pendidikan non formal dan informal pun tidak luput dari perhatian para ahli sosiologi.
Merurut Katamto Sunarto, Guru Besar pada FISIP Universitas Indonesia, para ahli sosiologi pendidikan membagi tiga pokok bahasan sosiologi pendidikan, yaitu:
  1. Sosiologi pendidikan makro, yang mempelajari hubungan antara pendidikan dan institusi lain dalam masyarakat: misalnya hubungan pendidikan dengan agama, sampai sejauh mana lembaga pendidikan dapat memberikan pengaruh terhadap anak didik dalam menjalankan ajaran agamanya dengan baik.  Hubungan pendidikan dan politik; sampai sejauh mana sekolah menjalankan perannya dalam proses sosialisai politik. Hubungan antara pendidikan dan ekonomi; sampai sejauh mana sistem pendidikan formal berperan dalam mempersiapkan tenaga kerja di sektor formal yang telah siap pakai, atau sejauh mana orang yang menikmati fasilitas pendidikan formal yang dibiayai negara memang merupakan orang yang membayar pajak secara setara.
  2. Sosiologi pendidikan meso, yang mempelajari hubungan-hubungan dalam suatu organisasi pendidikan. Pada sosiologi pendidikan meso ini sekalah dipandang sebagai suatu organisasi yang menjalankan aturan-aturan tertentu sehingga dapat mencapai suatu tujuan. Di sini dibahas tentang struktur organisasi sekolah, peran dan fungsinya dalam organisasi sekolah, serta hubungan organisasi sekolah dengan strukrur organisasi masyarakat yang lain.
  3. Sosiologi pendidikan mikro, yang membahas interaksi sosial yang berlangsung dalam institusi pendidikan, misalnya pengelompokkan yang terbentuk di kalangan mereka, sistim status, interaksi di dalam kelas, baik sesama siswa maupun siswa dengan guru.[41] 
Routledge dan Kegan Paul memberikan batasan ruang lingkup sosiologi pendidikan pada masalah masalah:
1.      Proses pendidikan sebagai interaksi sosial
2.      Sekolah sebagai kelompok sosial
3.      Pengaruh lembaga sosial lain pada lembaga pendidikan.
4.      Fungsi lembaga pendidikan bagi masyarakat.[42]
Ruang lingkup sosiologi pendidikan yang disodorkan Routledge dan Kegan Paul memandang lembaga pendidikan sebagai sebuah ssitem ,dan lembaga sosial yang memiliki hubungan yang sangat urgen  dengan berkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga ia menganggap lembaga pendidikan memiliki pengaruh dan fungsi bagi kehidupan sosial masayarakat.
Sementara itu ruang lingkup sosiologi pendidikan yang lebih lingkup di kemukakan oleh Sanapiah Faisal dan Nur Yasik. Mereka memandang ruang lingkup sosiologi pendidikan itu haruslah membahas masalah-masalah[43]:
1.      Analilis terhadap pendidikan selaku alat kemajuan sosial.
2.      Sosiologi pendidikan sebagai pemberi tujuan bagi pendidikan.
3.      Aplikasi pendidikan bagi pendidikan.
4.      Proses pendidikan merupakan proses sosialisasi.
5.      Peranan pendidikan dalam masyarakat.
6.      Pola interaksi sosial di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat.
7.      Ikhtisar mengenai berbagai pendekatan terhadap sosiologi pendidikan.
Dari pemaparan tentang pokok bahasan atau ruang lingkup pembahasan sosiologi pendidikan, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi ruang lingkup pendidikan itu adalah:
1.      Peran dan fungsi lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non formal dalam mendukung perkembangan masyarakat.
2.      Hubungan lembaga pendidikan dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat.
3.      Proses interaksi sosial dalam lingkungan lembaga  pendidikan dan masyarakat.
4.      Sosialisasi individu-individu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.
5.      Orientasi pendidikan dalam kehidupan sosial.

 

C. Latar Belakang Perkembangan Sosiologi Pendidikan


Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat mengalami perubahan sosial yang sangat cepat, progresif, dan kerap kali menimbulkan gejala desintegratif (berkurangnya kesetian terhadap nilai-nilai umum). Perubahan sosial yang cepat itu meliputi berbagai bidang kehidupan, dan merupakan masalah bagi semua institusi sosial, seperti industri, agama, perekonomian, pemerintahan, keluarga, perkumpulan-perkumpulan , dan pendidikan. Perubahan sosial itu dapat menimbulkan cultural lag (ketinggalan kebudayaan akibat adanya hambatan-hambatan). Cultural lag ini merupakan sumber masalah-masalah sosial dalam masyarakat, tidak terkecuali di alami oleh dunia pendidikan, sehinga menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada tidak mampu mengatasinya. Dalam kondisi yang demikian, para ahli sosiologi memberikan kontribusi pemikirannya untuk turut memecahkan problematika dalam dunia pendidikan, sehingga lahirlah disiplin ilmu baru yang dikenal dengan sosiologi pendidikan.
Sosiologi pendidikan didasarkan atas dan mencerminkan landasan teoritis disiplin induksnya yang berubah-ubah. Sosiologi pendidikan yang baik akan mencerminkan tiga aspek imajinasi sosiologis, yaitu historis, struktural, dan biografi. Sosiologi pendidikan sebagai suatu bidang penyelidikan yang substantif boleh dikatakan  masih baru (meskipun kita mempunyai karya Durkheim yang ditulis pada pergantian abad).
Secara kronologis sejarah timbulnya sosiologi pendidikan dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Lester F. Ward  dianggap sebagai pencetus gagasan timbulnya sosiologi pendidikan[44], yaitu dengan idenya mengenai evolusi sosial, di mana beliau menekankan peranan pendidikan sosial yang realistik dalam memimpin perencanaan kehidupan pemerintahan.
  2. Walaupun Lester F. Ward dianggap pencetus timbulnya sosiologi pendidikan tetapi Jhon Dewey dikenal sebagai pelopor dalam sosiologi pendidikan, dalam pengertian formalnya melalui bukunya yang berjudul School and Society yang terbit pada tahun 1899. Dalam buku tersebut Dewey menekankan pandapatnya mengenai sekolah sebagai institusi sosial. Pada waktu itu beberapa ahli pendidikan dan sosiolog menggaris bawahi peranan sosiologi bagi pendidikan. Kemudian selang tujuh belas tahun (1916) dari terbitnya buku School and Society,  Dewey mengeluarkan bukunya yang terkenal, yaitu Democracy and Education. Buku inilah yang dianggap sebagai pendorong kuat lahirnya sosiologi pendidikan. Pada tahun 1920-an tokoh-tokoh seperti F.R. Clow, David Snedden, Ross Finner, dan sebagainya meneruskan gagasan tersebut di atas dan menekankan pentingnya nilai sosial pendidikan.
  3. Pada tahun 1910 Henry Suzallo memberikan   kuliah sosiologi pendidikan untuk pertama kalinya  di Teahers Colloge, Universitas Colombia. Pada saat itu belum ada buku yang secara spesifik membicarakan tentang sosiologi pendidikan.
  4. Pada tahun 1916 Universitas New York dan Colombia pada tahun 1916 membuka dan menyelenggarakan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Pada tahun ini pun belum ditemukan buku yang spesifik membicakan sosiologi pendidikan. Baru tahun 1917 terbit textbook sosiologi pendidikan yang pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology.
  5.  Ttahun 1923 lewat kongres Himpunan Sosiolog Amerika, himpunan untuk studi sosiologi pendidikan dibentuk. Mulai saat itu diterbitkanlah buku tahunan sosiologi pendidikan.
  6. Tahun 1928 terbit majalah mengenai sosiologi pendidikan dengan judul  The Journal of Educational Sociology . Pimpinan majalah ini adalah E. George Payne.
  7.  Ternyata  studi sosiologi pendidikan terus  mengalami perlembangan, dan pada tahun 1936 dibuatlah majalah Social Education, yang membahas sekaligus berusaha memecahkan berbagai problematika pendidikan yang ditinjau dari sisi ilmu sosiologi.
  8. Tahun 1940 dalam Review of Educational Research dimuat pula artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan.
  9. Tahun 1942 terbit sebuah buku yang berjudul “Our Educational Emphasis in Primitive Perspective” karya Karl Mannheim. Di sini Mannheim mengemukakan kemungkinan mengembangkan sosiologi sekolah yang akan mencakup pula soal bagaimana pengertahuan diorganisasikan serta cara asumsi-asumsi yang dianut oleh para guru mempengaruhi sifat pendidikan sekolah dan mewarnai pengalaman murid.
  10. Tahun 1961 Halsey, Floud dan Anderson menerbitkan suatu kumpulan karangan mengenai sosiologi pendidikan.  Pada tahun itu subjek sosiologi pendidikan hampir-hampir tak tercantum dalam kurikulum para calon guru, baik di college-college pendidikan guru waktu itu maupun di departemen-departemen di universitas. Program-program studi sosiologi yang sudah mapan seperti di Univesitas London, menawarkan kepada para mahasiswa beberapa jurusan pilihan seperti demografi, kriminologi, kebijakan sosial dan administrasi (social policy and administration), dan perbandingan lembaga-lembaga sosial, akan tetapi sosologi pendidikan tidak ada.
  11.  Menjelang tahun 1977, ketika Karbel dan Halsey menerbitkan Power and Ideology in Education, setiap jurusan Universitas, setiap college dan politeknik mempersiapkan guru-guru sudah mempunyai mata kuliah sosiologi pendidikan. Enam belas tahun sesudah kedua bunga rampai yang diterbitkan oleh Halsey, pertumbuhan sosiologi pendidikan sebagai mata kuliah terasa sangat cepat.
  12. Di Indonesia mata kuliah sosiologi pendidikan baru muncul tahun 1967. Mata kuliah ini dicantumkan dalam kurikulum Jurusan Didaktik dan kurikulum pada Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta.

Ada tiga faktor yang menunjang pertumbuhan sosiologi pendidikan dalam tahun 1960-an. Pertama, sifat pendidikan guru yang berubah-ubah mulai dengan diperkenalkannya program pendidikan tahap pertama selama tiga tahun di college-college pada tahun 1962. Kedua, Permintaan terhadap tenaga guru semakin banyak, sehingga para mahasiswa- yang mengambil jurusan pendidikan guru- yang sedang belajar di college-college menambah studinya selama satu tahun lagi hingga mencapai gelar Bachelor of Education (Sarjana Muda Pendidikan). Faktor kedua ini merangsang perkembangan studi akademik pendidikan, dan dengan demikian merangsang pula pertumbuhan ilmu-ilmu sosial dasar yang menopangnya, yakni sosiologi, psikoligi, filsafat, dan sejarah. Dari sini lahirlah permintaan-permintaan akan tenaga sosiolog untuk ikut mengajar pada program-program studi akademis ini. Selanjutnya perkembangan ini merangsang pula departemen-departemen pendidikan di universitas untuk menyelenggarakan program-program diploma dan program gelar lainnya yang lebih tinggi guna menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan.
Ketiga, perubahan suasana mental perencanaan pendidikan di penghujung tahun 1960-1n dari optimisme ke pesimisme. Perubahan sosial yang sangat pesat di tahun 1960-an, mendorong para ahli sosiologi mempelajari pola-pola ketimpangan dalam masyarakat dan  efek-efek  kelas terhadap apa yang dicapai dibidang pendidikan.

D. Tujuan Sosiologi Pendidikan
Tujuan sosiologi pendidikan menurut George s. Herrington adalah:
1.      To understand the role of the teacher in the community and the school as an instrument of social progress and social factors affecting school.
2.      To understand the democratic ideologies, our culture and economic and social trends in relation to both formal and informal educational agencies.
3.      To understand social forces and their effects upon individuals.
4.      To Socialize the curriculum, and
5.      To use Techiques of research and critical thinking to achieve these aims[45].
Kelima macam tujuan yang dikemukakan di atas adalah tujuan spesifik dari sosiologi pendidikan di Amerika Serikat, yang sudah tentu akan berbeda dengan tujuan sosiologi pendidikan di Indonesia[46].
Tujuan sosiologi pendidikan yang lebih umum dikemukakan oleh S. Nasution. Menurutnya tujuan sosiologi pendidikan adalah:
1.      Menganalisis proses sosialiasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
2.      Menganalisis status pendidikan dalam masyarakat.
3.      Menganalisis interaksi sosial di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat.
4.      Sebagai alat kemajuan dan perkembangan sosial.
5.      Sebagai dasar untuk menentukan tujuan  pendidikan.
6.      Menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan sosial.
7.      Memberikan latihan-latihan yang efektif dalam bidang sosiologi kepada petugas pendidikan, sehingga mereka dapat memberikan sumbangan secara cepat dan tepat terhadap masalah pendidikan.[47]
Dari berbagai pendapat tentang tujuan sosiologi pendidikan, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan sosiologi pendidikan adalah:
1.       Untuk membantu lembaga pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan yang semakin berkembang.
2.       Untuk memahami peran dan fungsi pendidikan dalam masyarakat.
3.       Untuk mengetahui gejala dan faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi lembaga pendidikan.
4.       Untuk memahami hubungan sistem pendidikan dengan proses sosial dan perubahan kebudayaan.
5.       Untuk membantu para pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya.
6.       Untuk mengetahui berbagai interaksi sosial yang terjadi dalam lingkungan lembaga pendidikan.
7.       Untuk mempermudah bagi lembaga pendidikan dalam mensosialisasikan segala program pendidikan kepada masyarakat.
8.       Untuk membantu lembaga pendidikan dalam menyususn kurikulum, dengan melihat keadaan, kebutuhan, kecenderungan, dan tingkat ekonomi masyarakat.

E. Fungsi Pendidikan dalam Masyarakat.
Masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang hidup bersama yang menghsilkan kebudayaan. R.M. MacIver dan Charles H. Page mengartikan masyarakat sebagai suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia[48]. Sedangkan Ralph Linton menganggap masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[49]
Sebagai sebuah kelompok manusia, masyarakat dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang senantiasa terus berkembang. Oleh karena itu, anggota masyarakat dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan tersebut. Tanpa kemampuan, masyarakat mungkin tidak dapat mengatasi masalah-masalah mereka. Melalui pendidikan yang dilakukan dalam masyarakat, mereka diberikan bekal ilmu, kebudayaan, dan watak agar mereka dapat bertahan hidup dan memperbaiki kehidupannya. 
Pendidikan dapat diartikan sebagai proses transfer ilmu pengetahuan, kebuadayaan, peradaban, dan watak dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya, dengan tujuan agar generasi baru tersebut dapat melanjutkan, memperbaiki, dan mengembangkan segala sesuatu yang pernah dirintis oleh generasi terdahulu. Bagi anggota masyarakat memperoleh pendidikan merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan mereka dapat meningkatkan status sosial dan ekonomi mereka. Dengan demikian, pendidikan memiliki peran dan fungsi yang sangat urgen bagi kemajuan dan perkembangan masyarakat.
Menurut Jeanne H. Ballantine, fungsi pendidikan dalam masyarakat ada 4,  yaitu:
1.      Socialization: learning to be productive members of society and the passing on of culture.
2.      Selecting, training, and placement of individuals in society.
3.      Change and innovation.
4.      Social and personal development.
Merton and Hunt membagi fungsi institusi pendidikan menjadi 2, yaitu fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest institusi mendidikan antara lain: mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, mengembangkan bakat perorangan demi kepuasan pribadi maupun bagi kepentingan masyarakat, melestarikan kebudayaan, menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi. Sedangkan fungsi laten institusi pendidikan antara lain adalah pemupukan keremajaan, pengurangan pengendalian orang tua, penyediaan sarana untuk pembangkangan, dan dipertahankannya sistem kelas sosial.[50]
F. Pendidikan dan Perubahan Masyarakat
Masyarakat berfungsi sebagai penerus budaya dari generasi ke generasi selanjutnya secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan  masyarakat, melalui pendidikan dan interaksi sosial.  Dengan demikian pendidikan dapat diartiakan sebagai proses sosialisasi sesorang agar dapat beradaptasi dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Hidup di dalam masyarakat tidak mudah, karena terdapat tata aturan yang beraneka ragam sehingga seseorang harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan aturan yang berkembang di dalam masyarakat. Selain itu kepentingan individu setiap anggota masyarakat tidak selalu sama, dan masyarakat itu sendiri selalu mengalami perkembangan-perkembangan dan perubahan.
Menurut teori sosiologi pendidikan yang dikemukan Wilbur B. Brookover, bahwa perubahan masyarakat yang disebut social order[51] terjadi dalam empat fase, yaitu:
1.      Pada fase pertama, masyarakat tidak mau mengalami perubahan yang datang, baik dipaksakan atau datang mempengaruhinya. Semua perubahan yang datang akan ditolak, karena masyarakat ini berpegang teguh kepada norma yang ada yang dianggap baik dan melindungi mereka dari bencana. Bagi masyarakat ini perubahan merupakan faktor yang merusak tatanan kehidupan sosial. Bila terjadi perubahan justru akan menimbulkan kegoncangan dan konflik dalam masyarakat, sehingga akan terjadi ketidakstabilan sosial dan ekonomi. Pada kelompok ini pendidikan tidak bisa berkembang dan bersifat status quo, di mana masyarakat berusaha mengekalkan tradisi dan keadaan yang sudah ada.
2.      Pada tahap kedua, masyarakat mengalami kebimbingan dalam menerima perubahan. Masyarakat ini hanya menerima perubahan bila tidak bertentangan dengan kebudayaan mereka. Bahkan jika perubahan yang datang dapat mengkokohkan budaya mereka, maka budaya dan perubahan itu akan mereka adopsi.
3.      Pada tahap ketiga, masyarakat sudah mulai menerima perubahan sosial, sehingga mereka mempersiapkan generasi penurus mereka melalui pendidikan. Dengan demikian perubahan yang akan dilakukan telah direncanakan terlebih dahulu, bahkan dapat dipercepat melalui proses pendidikan. Bagi masyarakat yang berada pada fase social order ketiga ini peranan pendidikan sangat penting bagi mereka, karena “education as an agency of change”. Maka lembaga-lembaga pendidikan akan memberikan berbagai pengalaman kepada peserta didik dan masyarakatnya, baik ilmu, teknologi maupun keterampilan untuk menghadapi masa depan.
4.        Pada fase keempat, masyarakat telah mengalami kemajuan yang sangat tinggi, sehingga dikelompokkan ke dalam masyarakat yang sudah established, yaitu kelompok masyarakat yang sudah mapan dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, sehingga tidak disibukkan oleh masalah-masalah kecil, seperti kesehatan, penyakit menular, kemiskinan atau perumahan.
Dari gambaran di atas, tampak bahwa masyarakat betapapun statisnya, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan, walaupun perubahan yang dilalui oleh masyarakat itu setapak demi setapak. Di dalam menghadapi perubahan atau kemajuan, generasi penerus atau peserta didik harus dipersiapkan agar mereka dapat beradaptasi dengan baik, sehinga tidak menjadi generasi yang telat menyikapi perubahan dan kemajuan. Di sinilah tugas pendidikan untuk mempersiapkan mereka menjadi orang-orang yang peka terhadap perubahan
Anggota masyarakat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.      Yang bersikap statis, yaitu yang selalu ingin mempertahankan yang sudah lama. Orang-orang yang semacam ini tidak mau melihat adanya perubahan di dalam masyarakat tempat hidupnya. Jika ada sesuatu yang baru, selalu saja mereka ingin menoloknya.
2.      Yang menghendaki adanya hal-hal yang baru dan maju. Mereka ini termasuk orang yang kreatif dan dinamis, yang ingin memajukan cara hidup, ingin kemakmuran dan kesejahteraan[52].
Kelompok kedua inilah yang akan menjadi agen pembangunan masyarakat dan  pendorong masyarakat untuk maju. Oleh karena itu, tugas pendidikanlah untuk mencetak individu anggota masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk maju, berpikir kreatif, dinamis, dan inovatif, sehingga mereka dapat menjadi agen pembangunan masyarakat bangsanya.



[1] K.J. Veeger, Realitas Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 1

[2] Lihat Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta, Asdi Mahasatya, 2001), Cet. ke-1, h. 12-13.

[3] George Rirzer, Sosiology: A Multiple Paradigm Science, Terj. Alimandan, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), h, 38. Bandingkan dengan Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h. 1, dan P.J. Bouman, Fundamentale Sociologie, Terj. Sosiologi Fundamental, (Bandung, Harapan Offset, 1982), h. 12-13.  

[4] William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, Sociology, (Boston: AP Feffer and Simons International, 1964), h. 39
[5]Pitirim Sorokin, Contemporary Sociological Theories, (New York: Harper and Row, 1928), h. 760-762. Bandingkan dengan Roucek and Warren, Sosiology, an Introduction, (New Jersey: Adam & Co. Peterson, 1962), h. 3,

[6] Melihat banyaknya definisi sosiologi yang berkembang, Soerjono Soekanto merumuskan sifat-sifat hakikat sosiologi agar dapat dicari titik temu dari berbagai definisi tersebut. Sifat-sifat hakikat sosiologi tersebut adalah:Sosiologi termasuk ilmu sosial bukan merupakan ilmu alam atau ilmu kerohanian; Sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif, akan tetapi adalah suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan apa yang akan terjadi atau seharusnya terjadi; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan murni (Pure Science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan (Applied Science); Sosiologi merupakn ilmu yang abstrak dan bukan yang konkrit, artinya yang diperhatikan adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat, tetapi bukan wujudnya yang konkrit; Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum bukan yang khusus, artinya sosiologi mempelajari gejala yang umum yang ada pada setiap interaksi antar manusia. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), Cet. ke-35, h. 20-23.

[7] Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1993),   h. 2

[8]Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 2. lihat pula George Ritzer, Sosiology: A Multiple Paradigm Science, Terj. Alimandan, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,    h. 2; Bruce J. Cohen, Theory and Problem of Introduction to Sociology, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), Cet. ke-2, h. 8; Duncan Mitchell, Sociology, An Analysis of Social System, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 4 
[9] Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 3

[10] Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 3. lihat pula Robert N. Beck, Handbook in Social Philosophy, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc, 1979), h. 27-45.

[11]Lihat Albert J Reiss, Sociology, dalam International Encyclopedia of Social Sciences, ed. David L. Sills, (New York: Macmillan Company & Free Press, 1968), Jil. 15,  h. 2
[12] Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 3

[13]Lihat  Henri Levebvre, The Sociology of Marx, Diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Norbert Gutermen, (New York: Vintage Books, 1968), h. 22
[14] Ada 4 fungsi teori konflik dalam sosiologi, yaitu: 1) Sebagai alat untuk memelihara soslidaritas, 2) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain, 3) Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi, 4) Fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tetapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri dan karena  itu dapat mengambil keputusan. Lihat George Ritzer, Sosiology: A Multiple Paradigm Science, Terj. Alimandan, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, h. 29
[15]Lihat Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 290.

[16]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden (penyunting), Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), h. 81-124.

[17]Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, h 290
[18] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden (penyunting), Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, h. 30

[19]Lihat  Lihat Albert J Reiss, Sociology, dalam International Encyclopedia of Social Sciences, ed. David L. Sills, h. 3
[20] Lihat Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Islamic Sociology: An Introduction, Terj. Hamid Basyaib, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, h. 40
[21]NJ. Dawood, The Muqaddimah and Introduction to History, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Franz Rosenthall, (New Jersey: Pricenton University Press, 1969), h. viii

[22]Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Islamic Sociology: An Introduction, Terj. Hamid Basyaib, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, h. 41

[23]Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Cairo: Musthafa Muhammad, tt), Jil. II, h. 546
[24]Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Islamic Sociology: An Introduction, Terj. Hamid Basyaib, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, h. 47

[25]Lihat Basyarat Ali, Qur’anic Sociology, dalam Voice of Islam, Vol. XVI, 11 Agustus 1968, h. 869

[26] Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Hamid Algar, (Berkeley: Mizan Press, 1979), h. 42
[27] Al-Jauhari memberikan makna al-tarbiyah, rabban dan robba, dengan memberi makan, memelihara, dan mengasuh, lihat Syekh Muhammad an-Nuquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1988), h. 66. Bandingkan dengan Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Cairo: Barus Sya’bi), Juz. I, h. 120; Karim Al-Bastani, at. al., Al-Munjil Fi Lughoh wa A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1875), h. 243-244; Fahrur Rozi, Tafsir Fahrur Rozi, (Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiah) Juz. XXI, h. 151

[28] Sayyid Quthtub mengartikan robbayāni sebagai pemeliharaan anak serta menumbuhkan kematangan sikap mentalnya, lihat Sayyid Qutub, Tafsir Fi  Zilali al-Qur’an, (Beirut: Ahyal), Juz. XV, h. 15; Bandingkan dengan Fahrur Rozi, Tafsir Fahrur Rozi, (Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiah) Juz. XXI, h. 151

[29] Dalam surat Ali Imran ayat 79 dan 146 disebutkan istilah rabbāniyyîn dan ribbiyyūn, sedangkan dalam hadis Nabi SAW. digunakan istilah  rabbāniyyîn dan rabbāniy sebgaimana yang disinyalir dalam hadis di bawah ini:

كونوا ربّانيّين حلماء فقهاء علماء ويقال الرّبّاني الّذي يربّى النّاس بصغارالعلم قبل كباره {رواه البخارى عن ابن عبّاس}

Artinya: “Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqih, dan berilmu pengetahuan. Dan dikatakan predikat “Rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai menuju pada yang tinggi” (H.R. Bukhori dari Ibnu Abbas)


Arti al-tarbiyah bila dilihat dari hadis di atas adalah proses transformasi ilmu pengetahuan dari tingkat dasar menuju tingkat selanjutnya. Proses rabbani bermula dari proses pengenalan, hafalan, dan ingatan yang belum menjangkau proses pemahaman dan penalaran. Sedangkan arti al-tarbiyah bila menilik dari surat Ali Imran  adalah proses transformasi ilmu pengetahuan dan sikap anak didik, yang mempunyai semangat tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya sehingga terwujud ketakwaan, budi pekerti dan pribadi yang luhur.
[30]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa Ta’lîm, (Saudi Arabiah: Dār Al- Ahya), h. 7. Bandingkan dengan  Abdul Fatah, Min al-Ushul al-Tarbawiyah Fi al-Islām, (Mesir: Dār al-Kutub Misriyyah, 1977), h. 17; Muhammad al-Ghalayani, Idatu al-Nasyi’in, (Beirut: Maktabah Asyriyah, 1949), h. 185; Muhammad Jamaluddin al-Qosimi, Tafsîr Mahasin al-Ta’wil, (Cairo: Dār al-Ahya’) Juz. I , h. 8; Ismail Haqi Al-Barusawi, Tafsîr Ruh al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz. I, h. 13 

[31]Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islam Asalibuha, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 13. Muştafa al-Maraghi memberikan arti al-tarbiyah dengan dua bagian yaitu: Pertama, Tarbiyah Khalqiyah, adalah pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk. Kedua, Tarbiyah Diniyah Tahżibiyah, adalah pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa, lihat Muştafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz. I, h. 30.

[32]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa Ta’lîm, h. 7. Abdul Fatah Jalal memberikan pengertian al-ta’lim dengan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi tazkiyah (penyucian) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam satu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan tidak diketahuinya, lihat Abdul Fatah, Min al-Ushul al-Tarbawiyah Fi al-Islām, h. 17. Pengertian di atas cakupannya lebih luas dibangdingkan dengan al-tarbiyah, karena al-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa, sedangkan al-tarbiyah, khusus diperuntukkan pada pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.

[33]Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr al-Manar, (Mesir: Dār al-Manar, 1373 H), Juz. I, h. 262. Syekh Muhammad Al-Nuquib Al-Attas memberikan makna al-ta’lim dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta’lim disinonimkan dengan al-tarbiyah, al-ta’lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah system, lihat Syekh Muhammad an-Nuquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 66. Di sini terlihat dalam pandangan al-Nuquib, al-ta’lim ruang lingkupnya lebih universal daripada ruang lingkup al-tarbiyah. Makna al-tarbiyah lebih spesifik, karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilik yang sebenarnya adalah Allah.

[34]Syekh Muhammad an-Nuquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 66

[35]Lihat Hussein Bahresi, Ajaran-ajaran Akhlak Imam al-Ghazali, (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), h. 74

[36]Pengertian al-Riyādah dalam konteks pendidikan Islam adalah mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia. Pengetian al-Riyādah dalam konteks pendidikan Islam tidak dapat disamakan dengan pengertian al-Riyādah dalam pandangan ahli sufi fan ahli olah raga. Ahli sufi mendefinisakan al-Riyādah dengan menyendiri pada hari-hari tertentu untuk beribdah dan bertafakkur mengenai hak-hak dan kewajiban orang mukmin. Sedangkan ahli olah raga mendefiniskan al-Riyādah dengan aktivitas tubuh untuk menguatkan jasad manusia. Lihat  Muhaimin, at. al., Pemikiran Pendidikan Islam, h. 134

[37]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; tradisi dan modernisasi menuju milenium baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 3
[38]E. George Payne, Principles of educational Sociology, (New York: University Book Store, 1928), h. 20; Charles A. Ellwood memandang sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari atau menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial. Dr. Ellwood memberikan pengertian sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang proses belajar dan mempelajari antara satu orang dengan orang lain. Sedangakan E.B. Reuter menganggap sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian sosial dari tiap-tiap individu. Jadi prinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga sosial itu saling mempengaruhi (Process of socisl interaction), Lihat Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipa, 1991), Cet. ke-1, h. 7

[39]Francis J. Brown, Educational Sosiology, Educatinal sociology, (Tokyo: Charles E. Tutle Company, 1961), h. 40

[40]Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan,  h. 8

[41]Lihat Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 163. Nasution memandang bahwa yang menjadi pokok bahasan atau ruang lingkup sosiologi pendidikan adalah: 1) hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat, 2) hubungan antar manusia dalam sekolah, 3) pengaruh sekolah terhadap kelakukan dan kepribadian semua pihak sekolah, 4) sekolah dalam masyarakat. Nampaknya pokok bahasan sosiologi pendidikan yang dikedepankan oleh Nasution tidak hanya pada pendidikan formal yang berkembang di masyarakat, tetapi ia juga menganggap perlu memperhatikan aspek-aspek sosiologi yang ada pada pendidikan non formal dan in formal, di mana dua model pendidikan ini sudah menjamur di masyarakat, sehingga perannya dalam memajukan sistem pendidikan tidak bisa diabaikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan peran kedua model pendidikan tersebut melebihi pendidikan formal dalam mencetak pribadi-pribadi yang beriman, cerdas, dan kreatif.S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 6-7. lihat pula Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Probelem Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 53-54. 


[42]Routledge dan Kegan Paul, Sosiologi Pendidikan: Perspektif Pendahuluan Yang Analitis, edisi terj. Panuti Sudijan dan Greta Librata, (Jakarta: Bhatara, 1989), h. 9. Vembriato menganggap pokok bahasan sosiologi pendidikan adalah: 1) pendidikan ditinjau dari sudut orientasi sosial yang bersifat umum, 2) masalah proses sosialisasi anak, 3) kehidupan atau kebudayaan sekolah, 4) pendidikan ditinjau dari sudut hubungan antara pribadi. Pokok bahasan sosiologi pendidikan yang dikemukan Vembriarto berpusat pada organisasi sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai orientasi sosial, yakni membantu masyarakat dalam mengembangkan dirinya, sehingga secara stratafikasi sosialnya dapat diperbaharuhi ke arah yang lebih baik. Ia juga menekankan sosiologi pendidikan itu kepada pembahasan mengenai interaksi sosial individu-individu yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat sekolah, sehingga  anggata sekolah terutama peserta didik dapat bersosialisasi dengan lingkungannya, pelajarannya, dan kebudayaan, baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Lihat ST. Vembriarto, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 6
 
[43] Sanapiah Faisal dan Nur Yasik, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), h. 48-54
[44]Lihat Ann Parker Parelius dan Robert J. Parelius, The Sociology of Education, (New Jersey, Prentice-Hall, Inc, 1978), h. 1
[45]George s. Herrinton, An Analysis of Courses in Educational Sociology with Proposed Changes, November, 1974, h. 129-130

[46]Abu Ahmadi berpendapat bahwa tujuan sosiologi pendidikan di Indonesia adalah:1) Berusaha memahami peranan sosiologi dalam berbagai kegiatan sekolah terhadap masyarakat. 2) Untuk memahami seberapa jauhkah guru dapat membina kegiatan sosial anak didiknya untuk mengembangkan kepribadian anak. 3) Untuk mengetahui pembinaan ideologi Pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan pendidikan dan pengajaran. 4) Untuk mengadakan integrasi kurikulum pendidikan dengan masyarakat sekitarnya agar pendidikan mempunyai kegunaan praktis di dalam masyarakat, dan negara seluruhnya. 5) Untuk menyelidiki faktor-faktor kekuatan masyarakat, yang bisa menstimulir pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. 6) Memberi sumbangan yang positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan. 7) Memberi pegangan terhadap penggunaan  prinsip-prinsip sosiologi untuk mengadakan sosiologi sikap dan kepribadian anak didik. Lihat, Abu Hamadi, Sosiologi Pendidikan,  h 10-11

[47]S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, h. 2-5
[48] R.M. MacIver dan Charles H. Page, Society: An Introductionary Analysis, (New York: Macmillan & Co. Ltd, 1961), h. 5. Merion Levy mengemukakan empat criteria yang pelu dipenuhi agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu: 1) Kemampuan bertahan melebihi masa hidup seorang individu; 2) Rekrutmen seluruh atau sebagian anggota melalui reproduksi; 3) Kesetiaan pada suatu sistem tindakan utama bersama; 4) Adanya sistem tindakan bersama yang bersifat swasembada. Lihat Alex Inkeles, What is Sociology? An Introduction to the Desciplie and Profession, (New Delhi: Prentice-Hall of India Ltd, 1965)
[49]Ralph Linton, The Study of Man: An Introduction, (New York: Crofts Inc, 1963),   h. 91. SoeJono Soekanto mengatakan bahwa  ciri-ciri masyarakat adalah: 1) Manusia yang hidup bersama di dalam lingkungan sosial yang tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara historis angka minimumnya adalah 2 orang yang hidup bersama:; 2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama; 3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan; 4) Mereka merupakan suatu system hidup bersama. System kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat dengan yang lain. Lihat Abdulsyani, Sosiologi: Kelompok dan Masalah Sosial, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), Cet. ke-1, h. 7
[50] Lihat Katamto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 164. Fungsi manifest adalah fungsi yang tercantum dalam kurikulum sekolah. Sedangkan fungsi laten diidentikan dengan hidden kurriculum (kurikulum tersembunyi), yaitu kurikulum yang tidak disadari tetapi meskipun demikian befungsi pula untuk menanamkan pengetahuan dan keterampilan atau nilai-nilai tetentu.

[51]Wilbur B. Brookover, Sociological Education, (New York: American Book Company, 1995), h. 37-78, dikutip pula dari Aminuddin Rasyad, Peranan Pendidikan dalam Social Order, makalah disampaikan  pada Kuliah Perbandingan Pendidikan Pascasarjana Universitas Islam Negeri, Jakarta, Senin, 20 Oktober 2000, h.2-6 
[52]Lihat Abu Ahmadi, et. al, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar