Laman

Rabu, 17 November 2010

Pendidikan Islam


TINJAUAN UMUM TENTANG  PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Sahabudin

A. Pengertian Pendidikan Islam

Istilah pendidikan digunakan untuk menterjemakan kata education dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam konteks Islam pendidikan lebih banyak dikenal dengan term al-tarbiyah, al-ta’līm, al-ta’dīb, dan al-riyādah. Setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, namun dalam beberapa hal, term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.
Dalam leksiologi al-Qur’an tidak ditemukan kata al-tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan istilah al-tarbiyah yaitu: al-rabb[1], rabayānî[2], murabbi, ribbiyun, dan rabbani[3]. Semua fonem tersebut mempunyai konteks makna yang berbeda-beda. 
Sementara itu, secara terminologi al-tarbiyah­ diartikan oleh  Muhammad Aţiyah al-Abrasyi sebagai upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang    lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berpikir tajam, berperasaan, giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan dan terampil berkreativitas.[4] Sedangkan Al-Aşfahani mendefiniskan al-tarbiyah dengan proses menumbuhkan sesuatu secara bertahap yang dilakukan setapak demi setapak sampai pada batas kesempurnaan[5].
Pendidikan sering juga diidentikan dengan term al-ta’līm. Muhammad Aţiyah Al-Abrasyi memberikan pengertian al-ta’līm lebih khusus dibandingkan dengan al-tarbiyah, karena al-ta’līm hanya merupakan upaya menyiapkan individu            dengan  mengacu  pada  aspek-aspek  tertentu saja, sedangkan  al-tarbiyah mencakup
keseluruhan aspek-aspek pendidikan[6]. Sedangkan Muhammad Rasyid Rida memberikan definisi al-ta’līm dengan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu[7].
Dalam kesempatan lain, pendidikan diidentikkan pula dengan term al-ta’dīb. Menurut al-Nuquib term al-ta’dīb merupakan term yang cocok untuk dipergunakan sebagai istilah dalam pendidikan Islam. Hal ini karena konsep inilah yang sebenarnya diajarkan oleh Nabi Saw. pada umatnya pada waktu terdahulu.
Pengertian al-ta’dīb adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan Kekuasaan dan Keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan  keberadaannya[8].
Sedangkan term al-Riyādah hanya khusus dipakai oleh Imam al-Gazali, dengan istilahnya “Riyādatu al-şibyān” artinya pelatihan terhadap individu pada fase      anak-anak[9]. Menurut Imam al-Gazali, mendidik anak, lebih menekankan aspek afektif dan psikomotoriknya dibandingkan dengan aspek kognitifnya. Karena jika anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang positif, masa remajanya atau dewasanya lebih mudah untuk berkepribadian saleh, dan secara otomatis, pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya. Namun sebaliknya, jika dari kecil terbiasa berbuat naïf, di hari tuanya, anak tersebut sulit membiasakan aktivitas baik walaupun tingkat keilmuannya sudah memadai. Berdasarkan hal tersebut al-Gazali memakai istilah al-Riyādah[10] sebagai istilah alternatif dalam pendidikan Islam.
Terlepas dari perbedaan istilah pendidikan yang diidentikan dengan term bahasa Arab yang tepat sebagaimana yang telah dikemukan di atas, para ahli berbeda pula dalam mendefinisikan pendidikan. Azyumardi Azra menganggap pendidikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien[11]. Charles E. Siberman berpendapat bahwa pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Tugas pendidikan bukan melulu meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia. Pendidikan merupakan sarana utama untuk mengembangkan kepribadian setiap manusia.[12]
 Yusuf Qardhawi, mengatakan pendidikan Islam adalah “pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya.  Pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”[13]. Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam adalah “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”[14].
Sedangkan Endang Syaifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam[15]. Dari uraian di atas, dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah bahwa pendidikan Islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat. Selain itu pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam.[16]

B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Tujuan  akhir  biasanya  dirumuskan secara  padat  dan  singkat,  seperti terbentuknya kepribadian muslim,[17] kematangan dan integritas (kesempurnaan pribadi)[18].
Pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tumbuh, karena itu pendidikan, seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistic, baik secara individual maupun secara kolektif di samping memotivasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan kesempurnaan.
Prof. Dr. Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
1.      Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
2.      Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.
3.      Tujuan-tujuan profesionil yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.[19]
Mohammad Athiyah Al Abrosyi sebagaimana dikutif oleh Prof. Dr. Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany telah menyimpulkan lima tujuan pendidikan Islam, yaitu:
1.      Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Kaum muslimin telah bersetuju bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan sebenarnya. Dan bukanlah pendidikan dan pengajaran dalam rangka pemikiran Islam untuk mengisi otak pelajar dengan maklumat-maklumat kering dan mengajar mereka pelajaran-pelajaran yang belum mereka ketahui. Jadi boleh diringkaskan tujuan asasi pendidikan Islam itu dalam suatu kata, yaitu keutamaan (Al-Fadhilah). Menurut tujuan ini setiap pelajaran haruslah merupakan pelajaran akhlak, dan setiap guru haruslah memelihara akhlak, dan setiap pengajar haruslah memikirkan akhlak keagamaan di atas segala-galanya.
2.      Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya manaruh perhatian pada segi keagamaan sahaja dan tidak hanya segi keduniaan sahaja, tetapi ia menaruh perhatian pada kedua-duanya sekaligus dan ia memandang persiapan untuk kedua kehidupan itu sebagai tujuan di antara tujuan-tujuan yang asasi, kalau bukan tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan, seperti telah dikatakan. Di  antara teks-teks yang dipegang oleh pendidik-pendidik muslim untuk menguatkan tujuan ini adalah sabda Rasulullah:
إِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَاَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لأَِخِرَتِكِ كَاَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”
Jadi Rasulullah s.a.w. tidak hanya memikirkan dunia sahaja atau agama sahaja, tetapi beliau memikirkan kedua-duanya sekaligus tanpa  mengabaikan alam dunia dan alam akhirat.
3.      Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata-mata, tetapi manaruh perhatian pada  segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Pendidik-pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan atau menaruh perhatian pada segi-segi spiritual, akhlak, dan segi-segi kemanfaatan. Di antara teks-teks yang dipegang oleh pendidik-pendidik itu dalam menguatkan tujuan atau maksud pendidikan ini adalah surat yang diantar oleh khalifah Umar bin Khattab ra. kepada wali-walinya, yang berbunyi: “Sesudah itu, ajarkanlah anak-anakmu berenang, menunggang kuda dan ceritakan pada mereka adab sopan santun dan sya’ir-sya’ir yang baik.” Maka Umar ra. memerintahkan pada suratnya itu mengajar kanak-kanak berenang, menunggang kuda, pendidikan jasmani, kemahiran berperang, memelihara bahasa Arab, meriwayatkan pepatah-petitih, dan sya’ir-sya’ir yang baik.
4.      Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (curiosity) dan memungkin ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu. Pada waktu pendidik-pendidik muslim menaruh perhatian kepada pendidikan agama dan akhlak dan mempersiapkan diri untuk kehidupan dunia dan akhirat dan mempersiapkan untuk mencari rizki, mereka juga menumpukan perhatian pada sains, sastra, dan seni.
5.      Menyiapkan pelajar dari segi professional, teknis dan perusahaan supaya ia dapat mengusai professi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya ia mencari rezeki dalam hidup dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Pendidikan Islam, sekalipun menekankan segi kerohanian dan akhlak, tidaklah lupa menyiapkan seseorang untuk hidup dan mencari rezeki. Begitu juga ia tak lupa melatih badan, akal, hati, perasaan, kemauan, tangan, lidah dan pribadi.[20]
Sementara  itu Imam Bawani dan Isa Anshori menyimpulkan bahwa tujuan atau pancaran akhir dari pendidikan Islam adalah cendikiawan muslim, sedangkan pendidikan Islam merupakan salah satu misi yang diemban dan hendak direalisasikan oleh cendikiawan muslim melalui berbagai aktivitas dalam kehidupannya. [21] Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki berbagai kompentensi. Menurut Farid Ma’ruf paling tidak ada 4 hal yang harus terwujud dari proses pendidikan Islam, yaitu:[22]
1.      Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah)
Kepribadian Islam merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam kehidupannya. Kepribadian Islam seseorang akan tampak pada pola pikirnya (aqliyah) dan pola sikap dan tingkah lakunya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam. Pada prinsipnya terdapat tiga langkah dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam sebagaiman yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. Pertama, melakukan pengajaran aqidah dengan teknik yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang merupakan aqidah aqliyyah (aqidah yang muncul melalui proses perenungan pemikiran yang mendalam). Kedua, mengajaknya untuk selalu bertekat menstandarkan aqliyyah dan nafsiyyahnya pada aqidah Islam yang dimilikinya. Ketiga, mengembangkan aqliyyah Islamnya dengan tsaqofah Islam dan mengembangkan nafsiyyah Islamnya dengan dorongan untuk menjadi lebih bertaqwa, lebih dekat hubungannya dengan Penciptanya, dari waktu ke waktu.
Seseorang yang beraqliyyah Islam tidak akan mau punya pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Semua pemikiran dan pendapatnya selalu sesuai dengan keislamannya. Tidak pernah keluar pernyataan: “Dalam Islam memang dilarang, tetapi menurut saya itu tergantung pada pribadi kita masing-masing.” Harusnya pendapat yang keluar contohnya adalah “Sebagai seorang muslim, tentu saya berpendapaat hal itu buruk, karena Islam mengharamkannya.” Ketika ia belum mengetahui bagaimana ketetapan Islam atas sesuatu, maka ia belum berani berpendapat mengenai sesuatu itu. Ia segera menambah tsaqofah Islamnya agar ia segera bisa bersikap terhadap sesuatu hal yang baru baginya itu.
Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku (bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Ketika muncul dorongan untuk makan pada dirinya, ia akan makan makanan yang halal baginya dengan tidak berlebih-lebihan. Ketika muncul rasa tertariknya pada lawan jenis, ia tidak mendekati zina, namun ia menyalurkan rasa senangnya kepada lawan jenis itu lewat pernikahan. Nafsiyyah seseorang harusnya semakin lama semakin berkembang. Kalau awalnya ia hanya melakukan yang wajib dan menghindari yang haram, secara bertahap ia meningkatkan amal-amal sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dengan semakin banyak amal sunnah yang ia lakukan, otomatis semakin banyak aktivitas mubah yang ia tinggalkan.
Seorang yang berkepribadian Islam tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan, tidak berubah menjadi malaikat. Hanya saja ketika ia khilaf melakukan kesalahan, ia segera sadar bertobat kepada Allah dan memperbaiki amalnya sesuai dengan Islam kembali.
2.      Menguasai tsaqofah Islam
Berbeda dengan ilmu pengetahuan (science), tsaqofah adalah ilmu yang didapatkan tidak lewat eksperimen (percobaan), tetapi lewat pemberitaan, pemberitahuan, atau pengambilan kesimpulan semata. Tsaqofah Islam adalah tsaqofah yang muncul karena dorongan seseorang untuk terikat pada Islam dalam kehidupannya. Seseorang yang beraqidah Islam tentu ingin menyesuaikan setiap amalnya sesuai dengan ketetapan Allah. Ketetapan-ketetapan Allah ini dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah. Maka ia terdorong untuk mempelajari tafsir al-Qur’an dan mempelajari hadist. Karena al-Qur’an dan hadist dalam bahasa Arab, maka ia harus mempelajari Bahasa Arab. Karena teks-teks al-Qur’an dan hadist memuat hukum dalam bentuk garis besar, maka perlu memiliki ilmu untuk menggali rincian hukum dari al-Qur’an dan hadist yaitu ilmu ushul fiqh. Pada saat seseorang belum mampu memahami ketentuan Allah langsung dari teks Al Qur’an dan hadist karena keterbatasan ilmunya, maka ia bertanya tentang ketetapan Allah kepada orang sudah memahaminya, dengan kata lain ia mempelajari fiqh Islam.
Demikianlah Bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Hadist, Ushul Fiqh, dan fiqh merupakan bagian dari tsaqofah Islam. Dengan tsaqofah Islam, setiap muslim dapat memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju dalam kehidupan sesuai dengan arahan Islam.
3.      Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Mengusai iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik dan optimal di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti ilmu kedokteran, rekayasa industri, dan lain-lain.
4.      Memiliki Ketrampilan Memadai
Penguasaan ketrampilan yang serba material, misalnya ketrampilan dalam industri, penerbangan dan pertukangan, juga merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagaimana halnya iptek, Islam juga menjadikannya sebagai fardlu kifayah. Harus ada yang menguasainya pada saat umat membutuhkannya.

C. Kurikulum Pendidkan Islam
Satu  hal   yang   paling   penting   dalam   masalah  pendidikan  formal adalah pengaturan kurikulum. Karena kurikulumlah yang dijadikan sebagai acuan bagi berjalannya proses pendidikan. Bahkan termasuk sebagai acuan bagi evaluasi berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang dilakukan guru/ sekolah.
Dalam sistem pendidikan Islam, tentu kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut. Penyusunan kurikulum diatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar bisa membentuk kepribadian Islam yang sempurna pada peserta didik. Mereka bukan hanya menguasai sainstek, cerdas secara intelektual saja, tetapi juga memahami hakekat diadakannya proses pendidikan itu sendiri.
Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam formal dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik, yaitu (1) pembentukan kepribadian islami), (2)Tsaqafah Islam, dan (3) Ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan ketrampilan).[23] Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus menerus pemberiannya untuk semua tingkat, muatan tsaqafah Islam dan Ilmu terapan/ilmu kehidupan diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar, penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Yang termasuk dalam materi dasar ini antara lain:
1. Pengenalan Al Quran dari segi bacaan dan hafalannya
2. Prinsip-prinsip agama,
3. Membaca
4. Menulis dan menghitung
5. Prinsip-prinsip bahasa Arab,
6. Menulis halus,
7. Sirah rasul dan khulafa-u Rasyidin
8. Latihan berenang dan menunggang kuda[24]
Kurikulum yang ada haruslah memusat, artinya tidak ada perbedaan antara satu daerah dengan yang lainnya. Meskipun secara potensi lokal masing-masing daerah memiliki perbedaan, tapi kualitas sumber daya manusianya haruslah sama. Ini tidak berarti mengebiri kreatifitas daerah. Karena berbicara proses, kreatifitas guru dan sekolah untuk memberikan kemampuan terbaiknya bagi peserta didik masih tetap terbuka lebar.
Kurikulum tidak dapat disebut berciri Islam kalau sekiranya tidak semua subyek (mata pelajaran) diajarkan dari sudut pandang Islam. Dan buku-buku dasar yang ditulis dari sudut pandang Islam. Dengan demikian untuk mendapatkan kurikulum yang benar-benar berwatak Islam masyarakat Muslim membutuhkan buku-buku teks dan sebuah metode pengajaran yang benar-benar berwatak Islam.
Pengembangan buku-buku teks, problema penyusunan kurikulum, serta bagaimana memformulasikan konsep Islam dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. dengan berbagai permasalahannya dan pemecahannya. Buku teks berisi bahan untuk dipelajari secara terinci oleh para pelajar, baik di rumah, sekolah, maktab, dan universitas. Ada pengunaan yang berbeda, baik dari segi jenjang pendidikan, perkembangan psikologis, moral dan intelektualnya. Tentunya penyusunan tersebut mengacu kepada aspek sudut pandang teknik, moral, intelektual, emosional atau spiritual tertentu. Di sisi lain, guru yang ingin membuat buku ajar hendaknya menguasai dan memahami teknik penulisan, bahan tertulis, memahami implikasi dan hubungannya terhadap konsep lainnya. Buku teks berisi bahan untuk dipelajari secara terinci oleh pelajar di rumah, sekolah, maktab dan universitas.
Konsep pendidikan Islam dapat secara praktis diwujudkan melalui kurikulum, yang harus dirumuskan pertama untuk menjamin bahwa buku-buku teks yang tepatlah yang dihasilkan. Hal –hal yang hendaknya diperhatikan dalam menyusun kurikulum Islam adalah, pertama, konsep Islam tentang manusia sangat luas. Kedua, pengetahuan adalah sumber kemajuan dan perkembangan, Islam tidak membatasi pencapaian pengetahuan. Ketiga, besarnya penilian harus komprehensif. Keempat, aspek spiritual, moral, intelektual, imajinatif dan fisik dan kepribadian seseorang harus perhatikan ketika membuat interelasi antara berbagai disiplin. Pertumbuhan kemampuan dan pikiran seorang anak harus menjadi pertimbangan untuk menyusun subyek dan rangkaian pelajaran dalam tahap-tahap yang bertingkat. Kelima, perkembangan kepribadian seharusnya dilihat dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam. Dalam, pengembangan kurikulum perlu juga pemantapan hirarki pengetahuan, pengetahuan intelektual hendaknya juga menjadi perhatian, termasuk keyakinan dan etika harus ditanamkan kepada seorang anak sejak tahap awal. Penjelasan tersebut merupakan hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam perencanaan kurikulum.
Rintangan  rencana pengembangan kurikulum Islam, seperti rintangan politik, rintangan tersebut biasanya datang dari pihak pemerintah, baik pemerintah saat itu maupun kebijakan pemerintah kolonial dan sekuler Barat. Rintangan filosofis, dianggap berat bagi perencanaan kurikulum Islam, sebagai contoh ketika sebuah Negara yang mayoritas muslim berusaha menyusun sebuah perencanaan kurikulum pendidikan yang searah dengan tujuan agama, tetapi di sisi lain, Negara itu juga menganut cita-cita yang berseberangan dengan tujuan pendidikan Islam.
Kontradiksi tersebut terjadi akibat kurangnya pemikiran dan hasrat untuk menyusun sebuah kompromi antara kebutuhan- kebutuhan Islam dan sistem pendidikan modern. Berhasil tidaknya islamisasi kurikulum Islam tergantung pada adanya konsep yang sesuai setiap cabang pengetahuan. Dari berbagai teknik yang dikembangkan oleh Barat, ada teknik yang baik, yaitu teknik dilakukan oleh Nabi dan para Sahabatnya, teknik tersebut adalah teknik mempraktekkan secara langsung.
Di sisi lain, penyusunan kurikulum sering terjebak dalam lingkarang filsafah hidup, sehingga kurikulum tidak memperhatikan pendidikan itu sendiri, padahal seharusnya kurikulum disusun untuk pendidikan bukan untuk falsafah pendidikan. Mungkin kalau falsafah tersebut berdasarkan sumber yang sama ada celah untuk titik temu, tetapi permasalahannya adalah tidak adanya titik temu dalam tingkat tujuan, isi dan pengaturan kurikulum.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmuan muslim pada waktu itu mengislamisasi segala ilmu dan menjadikan ilmu itu berwatak islam. Berbagai ilmu tersebut berwatak Islam karena dimasukkan kedalam konsep islam. Dengan demikian rasionalisme akademis dari Barat membuat kurikulum yang menjadikan seseorang berbudi dan bukan orang yang religius. Tetapi, tradisi pendidikan Islam membuat kurikulum yang menjadikan seseorang menjadi religius.
Tetapi disayangkan tradisi pendidikan dewasa ini mengalami gangguan karena pengabaian sebagian besar cabang pengetahuan yang diperoleh, dan karena kurangnya formula konseptual yang dapat membantu mengasimilasikan cabang-cabang pengetahuan itu. Karena itu diperlukan riset-riset intensif untuk merumuskan konsep-konsep Islam untuk semua cabang pengetahuan. Berhasil tidaknya islamisasi kurikulum tergantung pada adanya konsep yang sesuai untuk setiap cabang pengetahuan. Sehingga sekulerisasi yang mendominasi semua cabang pengetahuan dapat digantikan oleh konsep Islam. Untuk itu perlu kerja keras para sarjana muslim untuk mewujudkan hal tersebut.
Untuk merealisasikan rencana kurikulum perlu realisasi praktis, di antara yang perlu segera dilakukan adalah menyusun proyek jangka pendek, yang proyek tersebut dilakukan secara serentak seperti pemikiran filosofis dan konseptualisasi harus mendahului penulisan buku-buku teks agar para penulis buku teks menulis sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.perlu segera dibuat kurikulum untuk tingkat sekolah menengah dan madrasah di seluruh dunia Islam berdasarkan rekomendasi yang telah ditetapkan oleh pakar pendidikan islam dalam komperensi. Program jangka panjang perlu dilakukan adalah memasukkan filsafat pendidikan pada sekolah menengah, kalau perlu pada tingkat dasar. Sedangkan untuk jangka panjang perlu membuat buku-buku teks yang mengandung nilia- nilai Islami, merevisi buku-buku teks dan silabus unversitas dalam semua cabangnya.. kemudian proyek jangka panjang lainya adalah dengan melakukan analisis kurikulum berdasarkan sudut pandang Islam. Dan yang terakhir adalah persiapan membuat antologi (kumpulan karya sastra pilihan) bahan bacaan, seperti ekonomi, sosiologi, agama komparatif, sains dan teknologi, serta bacaan lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Islam tidak hanya berarti pengajaran teologis atau pengajaran al-Quran, hadis, dan fiqh, seperti yang umum dipegang selama ini. Untuk membentuk pendidikan berwatak Islam, para ahli pendidikan dan pihak yang berkompeten hendaknya menunjukkan bagaimana prespektif total ini memberikan tanggapan seimbang mengenai manusia. Salah satu penyebab timbulnya konflik dalam masyarakat silam adalah system pendidikan dwi system pendidikan, yaitu pendidikan tardisional dan modern, dan untuk memadukan atau mengintegrasikan kedua hal tersebut adalah dengan kurilulum, silabus mata pelajaran dan buku-buku teks dibuat berdasarkn konsep Islam.
Integrasi hendaknya didukung oleh konseptualisasi dan latihan terhadap guru. Restrukturisasi pendidikan guru, karena guru menjadi model bagi siswa. Untuk itu guru hendaknya mengetahui teori Islam tentang pendidikan Islam dan diajarkan untuk menyadari akan keunggulan system pendidikan Islam dibanding dengan pendidikan Barat. Guru hendaknya menyadari bahwa pemikiran sekuler mendominasi setiap subyek, serta menyadarkan para guru akan pendekatan mereka selama ini yang penuh dengan pendekatan sekuler. Untuk itu kepada para guru hendaknya diperkaya dengan pendekatan Islam untuk menghadapi setiap cabang pengetahuan, hal ini penting bagi mahasiswa dan dosen serta praktisi pendidikan Islam, terutama yang ingin memahami langkah-langkah islamisasi pengetahuan dan penyusunan kurikulum Islami.
Menurut M. Athiyah Al-Abrasyi dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam haruslah berpegang pada hal-hal berikut:
1.      Pengaruh mata pelajaran itu dalam pendidikan jiwa serta kesempurnaan jiwa. Dari itu berikan pelajaran-pelajaran keagamaan dan ke-Tuhanan karena ilmu termulia adalah mengenai Tuhan serta sifat-sifat yang pantas pada Tuhan.
2.      Pengaruh suatu pelajaran dalam bidang petunjuk, tuntunan, adalah dengan cara hidup mulia, sempurna, seperti dengan ilmu akhlak, hadits, dan fiqih. Pandidikan Islam memperhatikan sekali masalah pendidikan akhlak itu dalam pelajaran-pelajaran tingkat pertama atau tingkat terakhir, dan mengutamakan pula mengenai ilmu agama – terutama fiqih – karena ilmu agama itu sendi kemulian, fadhilah dan sendi-sendi moral yang sempurna.
3.      Di samping itu ada lagi mata pelajaran yang dipelajari oleh orang-orang Islam karena mata pelajaran tersebut mengandung kelezatan ilmiah dan kelezatan ideologi, yaitu apa yang oleh ahli-ahli pendidikan utama dewasa ini dinamakan menuntut ilmu karena ilmu itu sendiri. Selain itu ada lagi mata-mata pelajaran yang oleh sarjana-sarjana Islam dianjurkan untuk dipelajari karena secara praktis dan langsung memberikan manfaat dalam hidup. Adapun mantiq dipelajari karena dengan ilmu tersebut terhindar seorang siswa dari kekeliruan berpikir; ilmu hitung dan ilmu ukur dipelajari agar akal dan hati nurani siswa terbiasa dengan sifat-sifat teliti dalam berpikir, teliti dalam berbicara dan berbuat, kenal dengan ilmu kewarisan, waktu-waktu puasa, urusan perdagangan; fiqih diajarkan untuk dapat mengerti hukum-hukum syari’at Islam dalam bidang ibadat dan muamalat; nahu dipelajari untuk menghidarkan tersalahnya lidah dalam berbicara, menghindari tersalahnya pena waktu menulis di samping agar siswa dapat membaca secara benar, menulis secara betul. Kedokteran dipelajari untuk melindungi diri dari segala macam penyakit dan untuk keperluan pengobatan.
4.      Orang muslim mempelajari ilmu pengetahuan karena ilmu itu dianggap yang terlezat bagi manusia. Menurut fitrahnya, manusia itu senang sekali mengetahui sesuatu yang baru, oleh karena itu para filosof Islam sangat sekalai memperhatikan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan kesenian, demi untuk memuaskan pembawaan fitrah manusia yang cinta pengetahuan dan ilmu. [25]



[1] Al-Jauhari memberikan makna al-tarbiyah, rabbani dan rabba, dengan memberi makan, memelihara, dan mengasuh, lihat Syekh Muhammad an-Nuquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1988), h. 66. Bandingkan dengan Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anşari Al-Qurţubi, Tafsīr Al-Qurţubi, (Cairo: Barus Sya’bi), Juz. I, h. 120; Karim Al-Bastani, at. al., Al-Munjil Fi Lugah wa A’lam, (Beirut: Dār Al- Masyriq, 1875), h. 243-244; Fahru al-Razi, Tafsīr Fahru al-Razi, (Teheran: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah) Juz. XXI, h. 151.

[2] Sayyid Qutub mengartikan robbayānī sebagai pemeliharaan anak serta menumbuhkan kematangan sikap mentalnya, lihat Sayyid Qutub, Tafsīr Fi  Zilali al-Qur’ān, (Beirut: Ahyal), Juz. XV, h. 15; Bandingkan dengan Fahru al-Razi, Tafsīr Fahru al-Razi, (Teheran: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah) Juz. XXI, h. 151.

[3] Dalam surat Ali ‘Imran ayat 79 dan 146 disebutkan istilah rabbāniyyîn dan ribbiyyūn, sedangkan dalam hadis Nabi SAW. digunakan istilah  rabbāniyyîn dan rabbāniy sebagaimana yang disinyalir dalam hadis di bawah ini:

كونوا ربّانيّين حلماء فقهاء علماء ويقال الرّبّاني الّذي يربّى النّاس بصغارالعلم قبل كباره {رواه البخارى عن ابن عبّاس}

Artinya: “Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqih, dan berilmu pengetahuan. Dan dikatakan predikat “Rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai menuju pada yang tinggi” (H.R. Bukhori dari Ibnu Abbas)


[4]Muhammad Aţiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa Ta’līm, (Saudi ‘Arabiah: Dār Al- Ahya), h. 7. Bandingkan dengan  Abdul Fatah, Min al-Uşūl al-Tarbawiyah Fi al-Islām, (Mesir: Dār al-Kutub Misriyyah, 1977), h. 17; Muhammad al-Galayani, Idatu al-Nasyi’in, (Beirut: Maktabah Asyriyah, 1949), h. 185; Muhammad Jamaluddin al-Qosimi, Tafsīr Mahasin al-Ta’wīl, (Cairo: Dār al-Ahya’) Juz. I , h. 8; Ismail Haqi Al-Barusawi, Tafsīr Ruh al-Bayān, (Beirut: Dār al-Fikr), Juz. I, h. 13. 

[5]Abdu al-Rahmān al-Nahlawi, Uşūl al-Tarbiyah al-Islām Asalibuha, (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), h. 13. Muştafa al-Maragi memberikan arti al-tarbiyah dengan dua bagian yaitu: Pertama, Tarbiyah Khalqiyah, adalah pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk. Kedua, Tarbiyah Diniyah Tahżibiyah, adalah pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa, lihat Muştafa al-Maragi, Tafsīr al-Maragi, (Beirut: Dār al-Fikr), Juz. I, h. 30.

[6]Muhammad Aţiyah al-Abrasyi, op.cit., h. 7. Abdu al- Fatah Jalal memberikan pengertian al-ta’līm dengan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi tazkiyah (penyucian) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam satu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan tidak diketahuinya, lihat Abdu al-Fatah, Min al-Uşūl al-Tarbawiyah Fi al-Islām, h. 17. Pengertian di atas cakupannya lebih luas dibangdingkan dengan al-tarbiyah, karena al-ta’līm mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa, sedangkan al-tarbiyah, khusus diperuntukkan pada pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.

[7]Muhammad Rasyid Rida, Tafsīr al-Manār, (Mesir: Dār al-Manār, 1373 H), Juz. I, h. 262. Syekh Muhammad Al-Nuquib Al-Attas memberikan makna al-ta’līm dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta’līm disinonimkan dengan al-tarbiyah, al-ta’līm mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem, lihat Syekh Muhammad an-Nuquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 66. Di sini terlihat dalam pandangan al-Nuquib, al-ta’līm ruang lingkupnya lebih universal daripada ruang lingkup al-tarbiyah. Makna al-tarbiyah lebih spesifik, karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilik yang sebenarnya adalah Allah.

[8]Syekh Muhammad an-Nuquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 66

[9]Lihat Hussein Bahresi, Ajaran-ajaran Akhlak Imam al-Gazali, (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), h. 74.

[10]Pengertian al-Riyādah dalam konteks pendidikan Islam adalah mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia. Pengertian al-Riyādah dalam konteks pendidikan Islam tidak dapat disamakan dengan pengertian al-Riyādah dalam pandangan ahli sufi fan ahli olah raga. Ahli sufi mendefinisakan al-Riyādah dengan menyendiri pada hari-hari tertentu untuk beribdah dan bertafakkur mengenai hak-hak dan kewajiban orang mukmin. Sedangkan ahli olah raga mendefiniskan al-Riyādah dengan aktivitas tubuh untuk menguatkan jasad manusia. Lihat  Muhaimin, at. al., Pemikiran Pendidikan Islam, h. 134.
[11]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; tradisi dan modernisasi menuju milenium baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 3.

[12]Andre Rinanto, Peranan  Media Audiovisual Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1982), h. 11

[13] Yusuf al-Qardhawi,  Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, diterjemahkan oleh Bustani A. Gani, , (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hal. 39.

[14] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma`arif, 1980), h. 94.
[15] Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), h. 85

[16] Lihat QS. 28/77

[17] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,  (Bandung: Al Ma’arif, 1962),  h. 43

[18] Muhammad  Noor  Syam, Pengantar filsafat Pendidikan, (FIP – IKIP: Malang, 1973),      h. 76

[19] Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany,  Filsafat Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. Ke-1,  h. 399
[20] Ibid., h. 416-418.  Prof. Abd. Rahman Nahlawy  merumuskan 4 tujuan pendidikan Islam, yaitu (1) Pendidikan akal dan persiapan pikiran, (2) Menumbuhkan kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan (bakat-bakat) semula jadi pada kanak-kanak, (3) Menaruh perhatian pada kekuatan generasi muda dan  mendidik mereka sebaik-baiknya, baik lelaki ataupun perempuan, (4) Berusaha untuk menyeimbangkan segala kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan manusia. Sedangkan Mohd. Fadhil El-Jammaly menyebutkan 4 tujuan pendidikan Islam yang bersumber dari Al-qur’an al-Karim: 1. Memperkenalkan kepada manusia akan tempatnya di antara makhluk-makhluk, dan akan tanggungjwab perseorangannya dalam hidup ini, 2. Memperkenalkan kepada manusia akan hubungan sosial-sosialnya dan tanggungjawabnya dalam  rangka suatu system sosial manusia, 3. Memperkenalkan kepada manusia akan makhluk (alam), dan mengajaknya untuk memahami hikmat (rahasia Penciptanya dalam menciptakannya, dan memungkinkan manusia untuk menggunakannya, 4. Memperkenalkan kepada manusi akan Pencipa alam ini. Ibid., h. 418-420

[21]Imam Bawani dan Isa Ansori, Cendikiawan Muslim dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), cet. Ke-1, h. 106
[22] Farid Ma’ruf, Pendidikan Untuk Generasi Berkualitas, artikel ditulis pada 4 Februari 2007, (Jakarta: Dunia Jundiku, 2007), h. 1
[23]Silmi, Tentang Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta, 8 Februari 2009).Tulisan ini diambil dari situs internet www.pendidikan-islam.com
[24] Ibid.
[25]Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa Prof. H. Bustani A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 173-178

Tidak ada komentar:

Posting Komentar